Detail Buku

Kembali
Judul Buku : Pelanggaran Hak Perempuan Adat
Penulis : Arimbi Heroepoetri, Aflina Mustafainah, Saur Tumiu
Penerbit : Komnas Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Jumlah Halaman : 53
Tahun Terbit : 2016
ISBN : 978-602-74201-1-3
Bahasa Buku : Indonesia
File Buku :   Baca Buku
Sinopsis :

Laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) untuk Inkuiri Nasional Komnas HAM: Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan.

Inkuiri nasional merupakan salah satu cara kerja mekanisme HAM nasional untuk menggali persoalan, mendengarkan berbagai pihak tentang persoalan kelompok rentan atau pelanggaran hak asasi manusia dengan pelibatan sebanyak mungkin pihak. Di Australia pernah digunakan untuk inkuiri tentang diskriminasi dan pelanggaran hak masyarakat aborigin, pernah juga digunakan untuk mendorong hak masyarakat disabilitas dan perlindungan perempuan dari kekerasan terhadap perempuan. Metode yang digunakan, yakni metode yang mudah terakses, bahkan masyarakat yang buta huruf maupun penyandang disabilitas harus dimungkinkan untuk bisa terlibat dalam inkuiri ini, sehingga proses legislasi sebagai ujung perlindungan, tinggal menyusun kata-kata, karena substansi persoalan dan kebutuhan perlindungan serta peran negara, secara partisipatif dan secara masif dimunculkan oleh publik. Kekuatan inkuiri ini juga akan menjadi penjaga efektivitas pemberlakuan undang-undang atau kebijakan yang dihasilkan, karena publik merasa terlibat, turut memantau dan merawat agar bisa berjalan. Ini berbeda dengan proses legislasi negara kita, sejumlah kebijakan yang belakangan muncul cenderung tertutup, sepihak, dilakukan diam-diam, dan minim melibatkan publik. Rakyat dijadikan obyek hukum atau kebijakan, padahal dalam spirit inkuiri, rakyat atau publik dianggap subjek berdaulat. Dalam inkuiri nasional ini Komnas HAM yang intensif mengajak Komnas Perempuan serta komisioner dedicated lainnya, agar isu dan perspektif perempuan terintegrasi. Inkuiri nasional punya makna penting, pertama inkuri nasional merupakan terobosan metodologis untuk meng-counter tradisi kolonialistik dalam legislasi maupun proses menyusun kebijakan, xiii dengan proses partisipasi dari bawah menjadi kunci. Kedua, dengan metode ini perempuan yang kerap “ditinggal” dan tidak didengar suaranya, menjadi mungkin untuk hadir dan menghadirkan kesaksian, pengalaman dan kebutuhan perlindungan yang lebih mengakar. Inkuiri nasional untuk hak masyarakat adat sangat penting karena adanya multidimensi pelanggaran hak asasi yang dialami oleh perempuan adat atau masyarakat hukum adat di negara kita. Temuan penting dari inkuiri nasional ini, dari isu pengambilalihan lahan, terkelupasnya akses atas lahan atau hilangnya hutan karena alih fungsi, eksploitasi sumberdaya alam, pemberian izin oleh Negara pada korporasi tanpa sepengetahuan dan sepersetujuan masyarakat adat, bahkan tidak jarang izin yang dikeluarkan atas nama negara lebih luas dari luas wilayah tersebut. Hutan, bagi masyarakat adat, khususnya perempuan, bukan hanya bertumbuhnya aneka ragam hayati, tetapi di sanalah sumber dan gantungan hidup, ranah spiritualitas, penyeimbang makro dan mikro kosmik. Selama di Komnas Perempuan dan kerjakerja bertaut dengan perempuan adat, banyak catatan menarik. Bagi perempuan, hutan adalah penyambung keberlangsungan hayat, tempat mencari penghidupan tanpa harus mencari lembar uang kertas. Perempuan adat di Papua misalnya, akan mencari karaka/kepiting, ulat kayu dan sagu, atau tumbuhan untuk gizi keluarga atau untuk dijual di pasar, tempat mencari sagu sebagai sumber makanan pada saat harga makanan di pulau terpencil melangit, sumber obat-obatan sebagai dokter alami untuk menyelamatkan generasi, mencari pewarna alam untuk tenun sebagai simbol kedewasaan perempuan, ruang dibawah atap langit untuk menyiapkan generasi yang menghormati semesta. Perempuan di Intan Jaya punya tumbuhan obat penghenti darah saat melahirkan, yang kini sudah punah. Perempuan di Wamena mulai resah karena hutan semakin menyempit dan kayu semakin habis. Mereka takut, tidak bisa menghantarkan orang tua mereka ke alam abadi karena tidak bisa melakukan prosesi spiritual membakar mayat orang tua mereka, disebabkan kelangkaan kayu. Bagitu pentingnya hutan bagi masyarakat adat karena hutan menjadi poros hidup dan peradaban masyarakat adat. Tata kelola dan kebijakan negara terhadap masyarakat adat, cenderung anthropo-kapitalistik. Melihat manusia sebagai makhluk ekonomis, tanpa melihat bahwa manusia dan semesta adalah satu kesatuan. Perubahan iklim dan bencana adalah rantai nyata dari dampak tak bijak dan tak berpijak pada pemartabatan manusia dan semesta. Kita melihat, bagaimana exploitasi sumberdaya alam membuat perempuan adat sulit Pelanggaran Hak Perempuan Adat dalam Pengelolaan Kehutanan xiv cari sagu dan terpaksa beli beras yang masih langka dan harga melangit, merubah pola konsumsi dari makanan berkualitas, organik dari hutan, ke makanan instan yang merusak lidah, kesehatan dan mengacaukan prioritas konsumsi. Selain itu konflik antar masyarakat adat juga menganga karena ketidak jelasan negara mengelola dan menuntaskan persoalan lahan. Konflik dengan pendatang karena kebijakan demografis yang menganggap transmigrasi adalah solusi untuk mendinamisir pulau, hutan atau wilayah yang minim penghuni juga membuat gundah kita semua. Harga mahal lainnya akibat dari hilangnya hutan sehingga memudarkan keterampilan dan hak properti intelektual perempuan adat khususnya yang ditemukan berbagai generasi, baik pengetahuan dan kearifan dalam meramu obat-obatan, pewarnaan, penenunan, pemintalan, peramuan kulinari tradisional, dll. Hak sipol (sipil dan politik) juga terkacaukan, institusi adat disimplifikasi sebagai organisasi tradisional, padahal didalamnya adalah naungan kebijakan, ada kekayaan pengelolaan ”eksekutif, legislatif dan judikatif” bahkan kebijakan keamanan dengan cara tradisional yang menghormati nyawa manusia, dan sejumlah masyarakat adat meletakkan perempuan sebagai aktor pendamai dalam konflik. Lebih jauh lagi, bagaimana dimensi kekerasan terhadap perempuan dari lapis persoalan tercerabutnya hak sipol dan ekosob (ekonomi, sosial, dan budaya) masyarakat adat ini. Kita ketahui bahwa dalam masyarakat Dayak, rumah Betang adalah rumah panjang yang bisa mencegah tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) karena beberapa keluarga tinggal dalam satu rumah untuk saling merawat dan menjaga keharmonian penghuninya. Perongrongan hutan, hilangkan rasa aman, mengoyak konsep komunalisme dan proteksi pada perempuan. Di Soroako, Papua, NTT, karena penggusuran lahan, memaksa masyarakat adat tinggal di rumah kecil, dan sejumlah kasus incess pada anak perempuan tejadi, karena rumah kecil dan tidak adanya ruang privat dan aman bagi anak perempuan. Ketika korporasi berkolaborasi dengan aparat keamanan dalam mengeksploitasi sumber daya alam, tidak jarang menyisakan persoalan berlapis bagi perempuan, antara lain ekploitasi seksual pada perempuan adat, prostitusi yang merentankan kesehatan bahkan kemungkinan tertular HIV Aids. Belum lagi, intelektual property right sebagai salah satu hak budaya juga mengalir terbawa arus migrasi karena pemiskinan pada perempuan adat. Sebagai contohnya, perkembangan mutakhir bahwa tenun NTT dan tenun Kalimantan sudah berpindah dipatenkan negara lain karena migrasi. Angka kematian ibu di Indonesia juga membubung, untuk konteks perempuan adat karena sulitnya cari tanaman obat-obatan hutan xv KATA PENGANTAR dimana sejumlah suku Papua bahkan dulu mampu melahirkan sendiri dan menghentikan pendarahan dengan tumbuhan hutan. Pembangunan jalan di Papua atau wilayah Timur bisa dilihat sekilas sebagai satu kemajuan, tetapi perempuan adat yang kami tanya, mengatakan bahwa mereka tidak punya kendaraan, harus bayar ojek 650 ribu untuk jarak pendek, dimana kalau di Jakarta hanya 35 ribu, atau harus keluar biaya 2 juta untuk sewa kendaraan ke Rumah sakit saat mau melahirkan. Sudah bisa ditebak pilihan apa bagi perempuan miskin dengan kondisi seperti ini. Perumahan-perumahan dibangun tanpa melihat kebatinan pola hidup masyarakat adat, dipampang di pinggir jalan dalam bentuk kompleks sebagai bantuan perumahan, karena lahan yang sudah diambil alih. Padahal pola perempuan adat tersebut, adalah masyarakat yang senang dekat laut dan air, sehingga rumah-rumah tersebut kosong, dan perempuan-perempuan adat ini berkerumun dengan rumah jauh dari sehat di tepi-tepi pantai yang jauh dari fasilitas apapun. Kita kalah dengan Vietnam yang membangun fasilitas kesehatan dan pendidikan justeru dekat dengan aktifitas perempuan, yakni di tepi sungai, untuk menekan angka kematian ibu dan akses pendidikan. Akan tetapi, dari semua lapis persoalan di atas, harus diapresiasi dengan lahirnya organisasi perempuan adat yang mengadakan kongres pertama di Tobello tahun 2012. Langkah maju ini, bahkan membuka kesempatan bagi perempuan adat untuk duduk dalam posisi strategis dalam organisasi adat juga sudah menggeliat. Para penggiat perempuan adat juga tekun dan bernas untuk pengaruhi kebijakan adat agar punya perspektif perempuan. Lebih jauh temuan Komnas Perempuan dari hasil risetnya, antara lain, kekerasan terhadap perempuan atas nama adat dan budaya terjadi di sana-sini, dari pembayaran denda dengan binatang bagi pelaku perkosaan yang kerap mengukuhkan impunitas, pemberian kompensasi pada korban kekerasan seksual kepada lembaga adat dan tidak diberikan pada perempuan korban, dan mengawinkan korban perkosaan dengan pelaku sebagai solusi tanggung jawab. Farida Shaheed, pelapor khusus HAK budaya PBB, saat diundang Komnas Perempuan tahun 2012, dalam konsultasi tersebut dihadirkan sejumlah mitra dari organisasi perempuan, termasuk penggiat perempuan adat, menandaskan bahwa kekerasan atau pelanggaran HAM atas nama budaya, adat, agama harus dikritisi dan direformasi. Dengan kata lain, jangan sampai berjuang melindungi masyarakat adat Pelanggaran Hak Perempuan Adat dalam Pengelolaan Kehutanan xvi dengan mereformasi kebijakan negara, tetapi luput memberi perhatian pada perempuan yang kerap alami kekerasan berlapis dalam sistem adatnya sendiri